/1/
Pohon beringin itu masih juga ingat telungkup kedua telapak tangan yang dulu menguatkannya. Ia ingin sekali merasakannya lagi. Potongan-potongan kenangan masih membekas di kulitnya yang sudah terkelupas sebagian. Ketika itu subuh begitu teduh. Awan yang menaungi pelataran rumah enggan beranjak dari tempatnya. Matahari masih tertidur disisi tubuh awan yang lain. Sang pemilik rumah baru saja mendapat karunia seorang anak laki-laki. Karna rasa senangnya, ia keluar dari rumah membawa satu pohon beringin yang masih begitu muda. Tiap langkah dan niatnya adalah harap dan semoga. Ia gali tanah dengan sebuah pacul yang membuat potongan miring pada sebidang punggung tanah. Seekor cacing tak sengaja terpotong miring, menggeliat terusik keganasan harapan sang pemilik rumah. Namun ia tumpahkan juga darah dan lendir sebagai restu paru-paru bumi yang akan tumbuh disana. Sementara pohon beringin mengenang masa-masa itu, guguran daun kenangan telah terbang terbawa angin. Angin yang berlalu itu, angin itu telah mendidiknya juga sedari kecil. Dari hempasan yang sering menerpanya, ia paham betul hidup adalah untuk belajar melepaskan dan melupakan. Satu yang tanggal adalah satu harapan untuk hidup lebih subur.
     *Sang pohon lupa ini musim kemarau, sehingga ia tanpa sadar terbawa suasana hingga kenangan telah terlalu mudah menggugurkan daun-daunnya.
     *Ia kini merindukan masa-masa ia bersemi dibawah rintik hujan.
/2/
Hujan itu, bagaimanapun juga, adalah guru maha guru bagi berbagai macam kerinduan. Sebegitu menghormati sang guru, sebagai murid yang baik, ia tundukkan dedaunannya yang tengadah ke langit untuk memberikan rindu sang guru pada tanah kering, pada kakinya yang serasa putus asa pada pijakannya, dan pada rerumputan yang mengharu hijau dahaga kerinduan. Tak Cuma sampai pada para tumbuhan, sihir kerinduan yang diajarkan oleh sang hujan kini telah bekerja pada cacing-cacing yang keluar dari tanah hanya untuk tarik menarik dengan dirinya sendiri. Sihir yang sama telah merasuki pikiran anak-anak kecil yang bermain riang dengan dada telanjang. Membuat bendungan-bendungan kecil untuk menampung kerinduan hujan—walau pada akhirnya akan tumpah sebagaimana kerinduan itu sendiri, semakin ia menggebu semakin mudah ia akan tumpah. Diantara anak-anak yang bermain itu, ia amati anak dari tuan yang telah menanamkannya pada tanah di depan halaman rumah telah cukup tumbuh untuk dapat memanjat batang-batang di tubuhnya.
     *Kadang ia rasakan kerinduan dapat menciptakan bermacam-macam keadaan.
     *ada sebuah kekuatan di luar dirinya yang tak dapat ia kendalikan.
/3/
 Matahari yang sering berkelebat tanpa sepengetahuannya adalah sosok misterius yang dengan sabar membimbingnya melewati hari demi hari. Yang ia tahu, matahari, begitu makhluk lain menamainya, adalah guru asing yang mengajar murid-muridnya dengan cara yang tak biasa. Ia sendiri tahu matahari dengan keajaiban cahayanya telah merawat kerinduan hujan dan keputusasaan yang ditimbulkan makhluk” lain menjadi semacam energi kehidupan. Energi yang dibutuhkan berbagai macam makhluk untuk tetap segar dan hidup sampai masa penghabisan usia. Yang ia tahu, matahari adalah ruh kehidupan yang tinggal di ufuk yang tak tersentuh awan-awan. Ia senantiasa berjalan kearah yang sama, merawat segala yang membutuhkan.
     *kehidupannya adalah untuk belajar memahami.
     *meski ia tahu, kemisteriusan adalah dunia lain yang belum ter-arungi.

Semarang, 2014


Cahaya bulan datang lewat kaca jendela
Memberi jalan panjang untuk mimpi-mimpi
Perlahan akan mendekat ke lukisan bintang
Ke dalam langit malam yang membentang
Meluas sunyi akan hanyut bersama arus langit
Beribu-ribu kunang-kunang melayang datang
Hingga cahaya mentari fajar senja nyata
Membasuh peluh mimpi hingga terisap sirna
Semua masih ada nan semua kan sirna


November, 2014


Mendung telah menaungi kota tua, kota lama
Tanpa sepatah kata, doa-doa telah tumpah
Pada dinding-dinding kota, bertubuh lumutlah
 Sepi penuh kenangan, mengawasi kita antara
Hikayat dan babad tanah jawa yang kian terlupa
Memulai mimpi tak pernah mudah disini, antara
Gedung tua, trotoar tanpa muara, hingga
Tugu-tugu tanpa mata, seolah kita mendung yang
Berlalu lalang memutari cakrawala zaman tanpa
Sekalipun singgah untuk sekedar minum teh bersama
Dinding-dinding sejarah yang tua pada buku-buku purba

Kita pun tumbuh bersama anak cucu kita bersama asap
Yang menjulang dimana-mana,diantara ingatan dan lupa
Diantara mendung yang mengarak sisa mimpi-mimpi kita
Hingga tinggal jatuh bersama hujan penuh harap semoga
Untuk anak-anak kita yang termenung antara dengkur dan
Mimpi pada bangku-bangku sekolah tua penuh angka tanpa
Aksara tanpa sejarah tanpa airmata tanpa luka tanpa darah

Barangkali mendung akan melewati kepala anak cucu kita serta
Kota lama, bersama sebuah … ditengah harap dan semoga


Oktober, 2014

-O Henry


I.                  Nasib dompet telah menghimpit kebutuhan kita
Sayang, namun cinta kita tetap terbuka
Walau itu penuh atau hampa sedalam luka-luka
Kehidupan kita, laksana sepasang lumba-lumba yang telah
Melayang dan tenggelam dalam lautan kehidupan
Aku sering tersedu-sedu dihadapan cermin
Yang buram oleh airmata yang jatuh, lesap dalam
lantai kayu apartmen kita, namun pada akhirnya
Telah aku rajutkan natal kita sayang
Dengan untaian rambutku yang sering kau belai
Kita gantungkan mimpi dan harapan meski diterpa
Angin yang masuk lewat celah-celah jendela
Melewati cangkir kopi yng menunggumu pulang

II.                 Detik derita telah kita lalui bersama arloji itu, sayang
Kita tak perlu lagi detik cinta yang mesti menghitung
Kasih kita, barangkali cuma perlu diikat oleh sebuah
Rantai emas yang kau beli lalu kita gantungkan pada
Tepi jendela, hingga musim dapat mengujinya dengan
Seksama, seraya kau menyisiri benih-benih keraguan
Dari rambutmu, meski sudah kuingatkan kau, cinta kita
Tidak harus terurai seperti rambutmu, atau senyata airmata
Yang jatuh saat kau bercermin, cinta kita, sayang
Akan menyambut denting terakhir lonceng hari natal



Oktober, 2014
Picture was taken from www.wikiart.org

jam siang musim kemarau, menakuti
hanya menyimpan kebisuan kepiting rawa
menyelitkan tulang-belulang sesamanya
pada lubang-lubang yang penuh rahasia
hingga nanti ia mati
menyaksikan akar-akar padi tak lagi memagut tanah
dalam kecemburuan
jam siang musim kemarau, mengundang
burung hujan yang merencanakan semua itu
terbang menemukan kepiting dan pohon bambu mendesak
lima patukan pada tanah
menegakkan pucuk pohon bambu yang lama letih
jutaan percikan air turun dari langit
mengisi lubang yang ditinggalkan kepiting rawa
yang sedang menari-nari di atas petak sawah
pada suatu waktu
dari puasa yang sedari setengah tahun lalu

April, 2014
Picture was taken from http://www.sublackwell.co.uk

malam-kini begitu asing untuknya
yang dulu membawa ketenangan pada sebuah buku yang ia baca
ketika membaca tulisan-tulisan bisu para pertapa tua
tak seperti dulu-kini,dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri didepannya
ketika membuka halaman depan sebuah buku
ketika seterusnya,langit sedetik benderang terlihat awan hitam mulai menggantung
kilat menyayat-nyanyat langit yang tertidur-menjungkir balikkan pemahamannya
ia tutup wajahnya dengan buku yang telah tercemari kata-kata
yang baginya seperti kaca jendela yang penuh kilah
sekejap ia sadar-melihat dari balik jendela seperti pentas pewayangan
yang tak mempunyai dalang
desahnya kian panjang tersesat di akhir hembusan
matanya meraba-raba apa yang telah dicuri oleh buku-buku itu
memisahkan diri dari tiap halaman
pikirannya berkacau lupa siapa dirinya
yang telah lama menghuni gua yang penuh kesepian.

Maret, 2014
Lukisan karya Henri Martin
Lukisan Karya Henri Martin
seorang penyair duduk bersila ditepian sungai
menunggu hingga tengah malam membisikkan kata
sebuah mata rembulan mengintip di balik tubuh awan
malu-malu melihat penyair yang bertapa di tepi sungai itu
yang hatinya telah terbawa arus musim kemarau
lalu menjelma batu di tengah yang mencari ikan
atau barangkali mencari kunci untuk mulut gua yang ada didepannya
konon, di balik tirai air terjun itu pula sedang terjadi kisah Ashabul Kahfi
sayang, belum juga ia temukan kata untuk bisa masuk kesana
untuk sekedar menulis pada dinding-dinding gua itu
sehingga para pemuda yang tertidur, kelak bisa membaca puisinya
dan tak bingung tahun mereka bangun
dan kini ia memperhatikan sinbad dan perahunya lewat di matanya
mengajaknya ikut mengarungi samudra, melambaikan tangan penuh semangat
tidak, ia tak membawa bekal yang cukup untuk itu
ia minta izin untuk sekedar menuliskan puisi di geladak kapal itu
agar ketika kapal berlabuh, orang akan membaca puisinya
ia kembali duduk memejamkan mata
zaman sudah berdesakan
membawa kemajuan pada lorong-lorong khatulistiwa
menyisakan kata-kata yang masih membutuhkan tempat
dan seorang astronot baru saja merencanakan ke bulan
dengan tongkatnya yang rapuh sang penyair mendekat
“untuk yang terakhir tuan, bolehkah saya menumpang?
untuk sekedar ikut pergi kesana”.
Kata penyair tua itu.
“ tolonglah tuan, saya takkan merepotkan,
hanya sekedar menulis, pada tanah-tanah kosong”.

Mei, 2014