Henry David Thoreau

Henry David Thoreau (1817-1862) merupakan seorang esais, dosen, dan moralis, yang lahir di Concord, Massachusetts. Karyanya yang paling dikenal adalah Walden (1854), yang tumbuh dari jurnal kesendiriannya di sebuah pondok di tepi danau Walden, dekat Concord. Dalam tujuh nukilan berikut, yang diambil dari karyanya, Walden, Thoreau menjelaskan kenapa dirinya mengasingkan diri untuk hidup sendiri. Tujuh nukilan ini diterjemahkan secara bebas dari buku "Readings for Writers" edisi keenam yang disusun oleh Anthony C. Winkler dan J.R. Mc Cueen.



I
Aku pergi ke hutan karena aku berharap untuk hidup dengan penuh kehati-hatian, untuk menghadapi hanya sifat-sifat dasar kenyataan hidup dan melihat bahwasanya aku tidak bisa belajar dari apa yang semestinya diajarkan, dan setidaknya, ketika nantinya aku mati, akan sadar bahwasanya aku belumlah hidup. Aku tidak berharap untuk hidup yang semestinya bukanlah sebenar-benar hidup, hidup cukuplah berharga; maupun tidaklah aku berharap untuk belajar berserah diri, sampai hal itu memang benar diperlukan. Aku ingin menjalani hidup yang mendalam sambil mengisap habis sumsum kehidupan, untuk hidup yang begitu kokoh, dan Spartan, sepertihalnya menggali semua yang tidak sebenar-benarnya hidup, untuk membuat lubang cangkulan yang dalam dan keluar dari dalamnya, untuk mendorong hidup sampai ke sebuah sudut sepi, dan menurunkannya pada masa terendah, dan jika memang terbukti buruk , kenapa kemudian mesti memahami keseluruhan keburukan dan kesejatian dari hidup itu, dan menyampaikannya ke dunia; atau jika hidup memanglah luhur, untuk mengetahui sendiri dengan mengalami hidup itu sendiri, dan dapat sebisa mungkin memberi nilai sebenarnya dari hidup pada masa ekskursiku yang akan datang, terlepas apakah dari iblis atau dari Tuhan, dan dapat sedikit dengan tergesa menyimpulkan bahwa akhir tujuan dari manusia adalah untuk “memuja Tuhan dan menikmati-Nya selamanya.”



Tengah malam.
Sepanjang bentangan jalan
Bertahan pada sintesis bulan
Berbisik mantra-mantra bulan
Mengaburkan berlantai-lantai ingatan
Dan segala relasinya yang jelas
Segala memisah, mempertegas diri
Setiap lampu jalan yang kulalui
Biarpet seperti sebuah drum fatalistis,
Dan melewati angkasa gelap
Tengah malam menggigilkan kenangan
Seperti seorang pria gila mengirai guguran geranium

Satu lebih lima belas,
Lampu jalan merecik
Lampu jalan komat-kamit
Lampu jalan berkata, Perhatikan wanita itu
Yang termangu pada dirimu dibawah cahaya pintu
Pintu yang terbuka untuknya seperti sebuah seringai.
Kau lihat carikan pakaiannya
Dan kau lihat sudut matanya
Juling seperti lencana yang disematkan miring

Kenangan melambung tinggi dan kering
Pusaran semua hal yang berpilin
Seikat ranting di atas pantai
Terasa hampar, dan berpendar
Seperti dunia melepaskan
Rahasia tulang-belulangnya,
Keras dan putih.
Sebuah pegas yang patah di halaman pabrik,
Karat yang melekati wujud yang tak lagi disisakan daya
Keras dan melengkung dan siap berderak.

Setengah tiga,
Lelampu jalanan berkata,
‘Tegurlah kucing yang merentangkan tubuhnya di selokan
Menjulurkan lidahnya
Dan menjilat sepotong mentega anyir.’
Sehingga tangan sang anak, seketika,
Keluar dan mengantongi sebuah mainan yang berlari sepanjang dermaga.
Aku tak bisa melihat apapun dibalik mata anak itu.
Aku telah melihat berbagai pasang mata di jalanan
Mencoba memandang tajam melalui daun penutup jendela yang bercahaya
Dan seekor ketam di sebuah sore di sebuah kolam
Seeekor ketam tua dengan kepah di punggungnya
Tercengkram oleh sebatang tongkat yang kugunakan untuk menahannya

Setengah empat,
Lelampu merecik,
Lelampu komat-kamit dalam gelap.
Lelampu merinai:
‘Beri salam bulan itu,
La lune ne garde aucune rancune,
Bulan mengerdipkan mata sayunya
Bulan tersenyum ke tiap sudut
Bulan membelai rambut-rambut rumput
Bulan yang telah kehilangan kenangannya.
Bintik-bintik cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan merangkai mawar kertas,

Yang menebar aroma debu dan eau de Cologne,
Bulan tengah sendiri
Dengan semua aroma nokturnal silam
Yang silang-menyilang melintas dipikiran Bulan.’
Kenangan datang
Dari geranium-geranium kering di teduh matahari,
Dan debu di celah-celah,
Aroma-aroma chesnut di jalanan,
Dan aroma perempuan di kedap ruangan,
Dan rokok-rokok di koridor
Dan bau koktail di bar-bar.

Lelampu berkata.
‘Pukul empat,
Inilah nomor yang tertera di pintu.
Kenangan!
Kau punya kuncinya,
Lampu kecil menebar lingkar sinar di lantai
Naik.
Ranjang telah terbuka, sikat gigi tergantung di dinding,
Lepaskan sepatumu di depan pintu, tidurlah, bersiap untuk kehidupan esok.’


Hunusan terakhir sang pisau.










Diterjemahkan secara bebas dari buku "T.S. Elliot Collected Poems 19091962"
yang ditebitkan oleh Harcourt, Brace & World, Inc. New York.
Gambar diambil dari  
http://img13.deviantart.net/343f/i/2010/278/4/3/rhapsody_on_a_windy_night_by_cornymistick-d304cn0.png
Pohon Prem tua; seutas tali yang melingkari lehermu
sebuah bangku yang kau hadapkan pada matahari terbenam, dan
arakan awan pergantian musim yang melintasi kepalamu
kulihat pertanda kematian membuatmu menyaru seorang putri
yang kehilangan gaun kehidupan
raut wajah yang layu oleh terpaan angin panas
dan hujan musim kemarau
kau memejamkan mata dan meracau

kematian
kematian
kematian
kini hanya kehilanganku yang akan membawa
cintamu kembali padaku

tepat ketika senja memudar; udara menipis
nafasmu meregang dibalik bayang-bayang awan
dan kau pun menghilang dalam lukisan



2016



                                                                                                                                                   —Pablo Neruda

Jika Kota New York bersinar bagaikan emas
dan disana terdapat bangunan dengan lima ribu bar.
kutuliskan disini bahwasanya semua itu dibuat
dari peluh kebun tebu:
perkebunan pisang adalah neraka hijau
supaya orang-orang bisa minum-minum dan menari di New York.
Ketika lima ribu meter
orang-orang Chile meludahkan darah
untuk mengekspor tembaga ke New York
orang-orang Bolivia rubuh dalam lapar
mencungkili pertambangan timah
meruntuhkan  tembok-tembok Andes
dan dari akar-akar Orinoco
berlian berhamburan di lumpur
Melalui tanah curian Panama.
melalui air curian. Kapal-kapal berlayar
ke New York dengan minyak tanah kami.
serta bersama curian barang tambang kami
yang dengan penuh takzim
pemimpin hiasan kami serahkan ke mereka.
Gula membangun tembok-tembok.
Orang-orang Chile menitrasi kota-kota.
Kopi Brazil membeli ranjang-ranjang tidur.
Paraguay memberi mereka universitas-universitas
dari Kolumbia mereka menerima zamrud.
sementara dari Puerto Rico. Pulau “sekutu”
itu. Para prajurit pergi ke medan perang
(mereka berjuang dengan cara yang sama
Amerika Utara memasok senjata
Puerto Rico memberikan darah mereka).



*Diterjemahkan secara bebas dari buku puisi Pablo Neruda "Song Of Protest", yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dari bahasa aslinya oleh Miguel Algarin di tahun 1976.
**Gambar diambil dari http://www.fazzino.com/new-york-city-pop-art-gallery/fazzino-cityscape-art-new-york-bright-lights-big-city.jpg



 
Karena hidup dengan sendirinya memilih kita untuk menjadi yang mengenang atau yang terkenang
Angin di buritan yang menuntun kepergian dari kehidupan, berlayarlah kita
Ke laut senja yang tenggelam di tengah lautan,  dengan burung camar di kiri kanan kita
Sedang lilin di ujung perahu menerangi gelap yang merapat ke sisi kita
Dan koin pengantar di mulut kita

Karena hidup dengan sendirinya memilih kita untuk menjadi yang mengenang atau yang terkenang

Datanglah Kharon, berdirilah di buritan perahu kami
Antarkan kepulangan kami pada sunyi dan kehampaan
Melewati langit merah sungai Stynx
Melewati beribu kepedihan kami yang mengalir di sungai Acheron
Datanglah Kharon, Datanglah

Karena hidup dengan sendirinya memilih kita untuk menjadi yang mengenang atau terkenang

Dengan deru debur ombak; laut tanpa ujung; dan ketiadaan tanpa batas
Kematian akan selalu kami syukuri
Seperti rilikui yang ditinggalkan moyang kami
Meski ombak kenangan kami akan selalu membentur batu karang


2016
Ketika pertama kali menatapmu, kulihat cahaya senja berpendar dari tengah laut. Lalu fragmen-fragmen cerita kita dimainkan debur ombak yang menggulung pasir dan bebatuan. Kulihat kita berbaring memandang langit jingga itu tanpa sepatah kata. Debur ombak, suara camar, dan lambaian pohon-pohon kelapa mengelu-elukan kau. Kudengar pula nafasmu menyambung nafasku. Dan tautan nafas kitalah yang melepas perahu nelayan untuk berlayar ke laut lepas. Beserta diri kita. Lin, semisal kau cemaskan laut yang sedemikian luas, cukup kau tatap aku dan temukan daratan kecil buat kau berlabuh disana.
 
Disenyummu, Lin, kutemukan tempat tidur untuk menanam mimpi-mimpi paling muskil sekalipun. Aku sang petani mimpi dan senyummu adalah lingkup yang merawat semuanya. Hingga nanti dan setelah musim panen tiba, tetaplah kau setia menunggu mimpi untuk menjadi kenyataan yang siap dipetik. Karena aku selalu percaya hanya ada satu musim di setiap tawamu. Untuk itu, meski hanya mimpi yang dapat kupercayakan padamu, simpan dan rawatlah, karena mereka adalah sebagian diriku.

Lin, kau mesti tahu gerimis yang mengantarkanmu sore itu datang dari mimpi masa laluku. Kusimpan gerimis itu, hingga kini reda dan kau pun berdiri dihadapanku. Lembayung senja yang mengantarkanmu pun tak kan salah menuturkan gerimis. Cukupilah dengan percaya apa yang dituturkan gerimis kepada kita.

Pada suatu masa nanti, gerimis pula-lah yang akan mempertemukan kita kembali.


2015 
                                                                                                                                         --H.C Andersen



Malam di ujung tahun; dingin terakhir
Angin bersiulan di lubang dinding kamar selepas aku pergi
Langkahku mulai memasuki gang dan salju-salju membeku di telapak kakiku
 oleh rasa lapar
Kunang-kunang bertebangan di kedua mataku
Aku terus berjalan, dan salju masih berjatuhan

Sesampaiku di ujung gang, jalan-jalan semakin menikam
Para gelandangan memainkan gigil di gigi mereka
Seakan gigi-gigi mereka adalah tuts piano yang melengkingkan kesakitan
Dan angin adalah pisau kecil yang menyanyat tulang
lalu aku, menyalakan nyala api pertama

*
Nyala pertama menumbuhkan asa dalam ketiadaan diriku
                                                                                 dalam mimpiku
tungku perapian, kursi usia tua, jam usia, serta kaus kaki dengan lubang mata
aku menunggui malam hingga sesampainya di usia senja
dan semuanya pun padam, dalam gelap tiada

**
Di nyala kedua, sebuah drama dimainkan
Seorang putri salju terbaring dalam rindu
Hatinya konon bertebaran menjelma salju
Dan seorang pangeran berdiri di depan pintu
Menjulurkan lidahnya untuk merasakan dinginya
                                                                               Rindu
Lalu salju pun meluber dalam lidah sendu
Tirai panggungpun menutup kisah sendu itu, begitu pula apiku

***
Pohon natal, seribu lilin, debu-debu putih yang membakar ingatan
Nyala ketiga serupa lelatu keluar dari jendela rumah-rumah
Dan aku masih terduduk di seberang trotoar
Merekayasa setiap keriangan yang terlihat di rumah-rumah
Seakan aku ikut didalamnya
Namun api segera membakar jariku dan aku tersadar ada jarak yang asing
Antara nestapa dan kebahagiaan yang tak dapat kulintasi

****
Seseorang sedang sekarat
Matanya mengaburkan kenyataan yang terlihat, menjadi sebuah remang
Dalam rumah yang diselimuti kegelapan
Lalu tiba-tiba dari pintu depan, cahaya yang begitu terang menyingkap gelap
Uluran tangan menariknya ke, kematian. Begitulah
Di nyala keempat, setiap bintang yang jatuh, sebuah jiwa akan naik ke langit malam.

2015



*Gambar diambil dari http://www.worksoppriory.info/blogs/y6/wp-content/uploads/sites/9/2015/01/JohnstoneTheLittleMatchGirl_08a.jpg