MEMBACA AFRIZALNIAN MUDA*
—Oleh Puguh Dwi Siswoyo
Kita pun bisu tersekat dalam pesona, sewaktu kata membuat kita begitu terpencil di luar cuaca
—Sapardi Djoko Darmono
I
Apa itu puisi? Robert Frost membuat sebuah jawaban klasik: “Puisi adalah suatu jenis tulisan yang ditulis penyair.” Kemungkinan, Frost tidak bermaksud untuk menghindari pertanyaan tersebut, tetapi untuk mencaci penanya agar memikirkan pertanyaan tersebut dalam dirinya. Permasalahan mengenai definisi dari puisi itu sendiri mungkin akan membuat kita malas untuk memikirkan jawabannya. Jika Frost pernah berkata, “ Poetry is rhythmical composition of words expressing an attitude, designed to surprise and delight, and arouse an emotional response ( Puisi adalah susunan kata-kata yang berirama yang mengekpresikan sebuah sikap, disusun untuk mengejutkan dan menyenangkan, dan menggetarkan perasaan emosionil).”
Sifat dasar puisi menghindarkan diri dari definisi yang sederhana. ( Dalam hal ini mungkin sama seperti jazz, Ditanya seusai salah satu konsernya, “Apa itu jazz?” Louise Armstrong menjawab, “Man, if you gotta ask, you’ll never know.”) Definisi akan sedikit membantu pada awalnya, jika kita harus tahu dan meresponnya. Kita harus masuk kedalamnya, sudi untuk melihat dan mendengar. Sebuah jawaban klasik lain muncul dari Emily Dickinson, “If I read a book [and] it makes my whole body so cold no fire ever can warm me I know that is poetry. If I feel pshysically as if the top of my head were taken off, I know that is poetry. These are the only ways I know it. Is there any other way.”, yang kalau saya terjemahkan “Jika aku membaca sebuah buku (dan) itu membuat seluruh tubuhku begitu dingin tidak ada api yang bisa menghangatkanku aku tau itu adalah puisi. Jika aku merasa badanku seperti kala ujung kepalaku telah diambil, aku tau itu adalah puisi. Apakah ada cara yang lain.”
Untuk alasan ini, kita ditanya dalam membaca sajak-sajak Aji Ramadhan dan tidak tergesa-gesa untuk menentukan seperti apa puisi yang ia ciptakan, tetapi lebih untuk mempelajari puisi dan membiarkan mereka tumbuh di pikiran kita.
II
Afrizal Malna dalam proses kreatifnya mengungkapkan bahwa ia berusaha untuk mengenali dari mana datangnya layar hitam yang membentang setiap ia menulis puisi, Aji Ramadhan secara tidak langsung ingin mengungkapkan bahwa ia pun merasakan kegelisahan perspektif gelap yang kian berlawanan dengan gerak peradaban disekitarnya, bagaimana banyaknya pandangan pesimis akan terciptanya jenis atau bentuk puisi baru di kesusasteaan Indonesia. Lewat puisinya yang berjudul “Monagram Dua Huruf”, ia berusaha untuk menolak kenyataan-kenyataan semu itu dan ia mungkin saja ia berusaha mengungkapkan untuk terus melawan kenyataan itu. Berikut puisi yang saya maksud:
Dari puisi yang berjudul “Monogram Dua Huruf” tersebut, Aji berusaha untuk keluar dari anggapan tidak akan adanya jalan-jalan baru bagi kepenyairannya. Jalan untuk menemukan sebuah bentuk yang belum terjamak penyair lain. Terlepas dari pemilihan diksi “buku” di akhir puisi tersebut, yang menurut saya kurang tepat pemilihannya, puisinya memiliki keberhasilan dalam memasukkan percakapan, sehingga seolah-olah puisi tidak hidup di dunianya sendiri. Puisi ini dapat dikatakan sukses dalam mengolah diksi lokal seperti, “kencur”, dan lariknya yang ditimbulkan pun mudah dipahami.
Di puisi lainnya, Aji mulai menjelajah ruang-ruang sosial dan sudut-sudut senyap dalam sebuah sistem kasta yang tanpa kita sadari memang ada. Tema seputar kehidupan dan sosial ini seakan meronta dalam gaung sajaknya yang berjudul “Dinding Sekarang”. Ketundukan rakyat kecil coba ia gambarkan dalam sajak tersebut.
Penggunaan diksi-diksi yang ideal menimbulkan sebuah kekuatan pada puisi di atas. Pada puisi tersebut Aji memilih diksi-diksi verbal dalam percakapan sehingga puisi tersebut dapat saya katakan memiliki pola-pola percakapan yang tidak banyak menggunakan istilah asing. Yang dilakukan Aji dalam puisinya seperti mencatatkan bahasa lisan, dengan strategi dialog, untuk memberi kesan bahwa disana ada dua orang yang sedang berdialog. Puisi seperti ini saya rasa memiliki nuansa yang mirip dengan puisi-puisi Afrizal Malna. Berikut dua bait pertama puisi Afrizal Malna yang berjudul Mesin Penghancur Dokumen:
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar, kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang menghancurkan egoku. Bagaimana aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV. Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuklah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu. Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu. Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Mesin Penghancur Dokumen”–Puisi Afrizal Malna dalam kumpulan puisi Museum Penghancur Dokumen
Meski ketika membaca puisi Aji Ramadhan saya tidak mengalami hal yang sama ketika membaca puisi Afrizal diatas, yang mana saya tak bisa memilah-milah yang mana subjek, yang mana objek, yang mana kata benda, yang mana kata sifat, tetapi saya rasa Aji Ramadhan mungkin terpengaruh dalam gaya penceritaan yang dilakukan Afrizal. Kemungkinan yang sebenarnya bahwa strategi eksplorasi gaya penceritaan yang dilakukan Aji Ramadhan justru bukan sebagai upaya untuk mengekor proses kepenyairan Afrizal, melainkan sebagai upaya dalam menjadi kepala itu sendiri. Diksi-diksi pada puisi Dinding Sekarang yang memadai dan masih tidak banyak bergerak ke persinggahan lain seperti pada puisi Afrizal dalam proses kreatif gaya penciptaan puisi tersebut mulai keluar dari keadaan istilah yang homogen. Sehingga meski pada puisinya tersebut Aji tidak banyak memasukkan metafora puisinya tetap memiliki ruh. Akan tetapi gaya penulisan seperti itupun (tanpa menggunakan metafora) jika terlampau sering digunakan dapat menciptakan keterjebakan dalam kelengangan yang membosankan, yang kalau dibiarkan akan menjadi-jadi apabila si penyair kurang menyadari antara prioritas penggunaan metafora dalam memperluas makna sebuah puisi. Jika kita membuka pintu depan dan seorang teman sedang berdiri disana dalam ketakutan yang histeris, teman kita itu tidak perlu mengucapkan “Aku sedang sedih”. Kita pasti akan sudah tahu dari raut wajahnya. Dalam arti seperti itu juga, puisi saya rasa member kesan dengan sangat jelas lewat perumpamaan, nada, dan diksi yang tidak butuh diterangkan secara jelas. Hal ini seperti yang ditekankan oleh Robert Frost, bahwasanya sampai seorang penyair bisa berumah pada metafora, sampai seorang penyair mempunyai pengetahuan yang patut perihal kepuitisan dalam metafora, seorang penyair tidak akan aman dimanapun. Disitulah saya rasa pentingnya penggunaan metafora dalam berpuisi.
Pada puisi yang berjudul Tak Bertuan, Aji Ramadhan mencoba eksplorasi diksi tubuh. Hal yang sama juga saya dapati dalam puisi-puisi Afrizal Malna.
…
Aku hanya ingin anjing ditubuhmu
liar. Terus menggonggong sampai kita
melihat bintang merekah di langit utara
…
Potongan puisi Aji bait keempat tersebut mengindikasikan bahwa Aji ingin bermain-main dengan bahasa. Terlihat bagaimana ia membenturkan diksi “anjing” pada “tubuh”. Dalam tubuh puisi Afrizalpun pola seperti itu ada dan dengan keunikan-keunikan yang tak terduga; terkadang bias karena penggunaan diksi tubuh dengan diksi yang bertolak belakang dengan tubuh itu sendiri.
Berikut saya kutipkan bait pertama dari puisi Afrizal Malna yang berjudul Untuk Tuan Kehidupan:
Aku menanak beras untuk makan anjing-anjingku. Kadang mengingatkan aku saat-saat lapar—“Selamat malam tuan-tuan cacing dalam perut”—aku memunguti tiap butir beras yang terjatuh. Mengumpulkannya satu persatu untuk membuat sebuah benteng di ujung lidahku. Menunda semua perasaan di sekitar kehidupan manusia. Upacara lapar dalam daftar ketakutan dan keharuan.
Namun Aji tidak terjebak dengan letak kerumitan dari cara berpikir Afrizal. Pada puisinya yang berjudul “Tak Bertuan” agaknya Aji ingin mengujicobakan metafor-metafor dengan gaya yang serta merta telah dilakukan oleh Afrizal. “anjing di tubuhmu liar”, misalnya, di sini Aji ingin mempertunjukkan antara eksplorasi yang ia temui dengan khayalan dalam pikirannya. Pembentukan frasa seperti ini bisa jadi adalah jebakan bagi Aji sendiri. Jebakan dalam arti Aji sedang mengada-ada realitas dalam bentuk puisi, walaupun sebenarnya ia tidak bermaksud seperti itu. Pertautan tersebut bisa jadi berbuah kegagalan untuk membentuk “kebermaknaan”. Demikian keterjebakan itu akan menjadi-jadi apabila si penyair kurang menyadari antara prioritas estetika diksi dengan kegunaannya dalam sajak tersebut. Dengan demikian gaya kepenulisan tidak mudah untuk berkembang. Oleh karena itu, perlunya penulis untuk terus berlatih dalam mengontrol kesesuaian pengunaan diksi dalam berpuisi, pun untuk tak sekedar menjadi ekor ular besar melainkan menjadi kepala ular, meski ular kecil.
*Sebagai materi dalam diskusi di UKM KIAS UPGRI Semarang
0 comments:
Post a Comment