Suara-suara yang disampaikan Perahu Napas*

by 11:01 AM 0 comments


Dalam dunia kesusteraan, khususnya khazanah perpuisian, seringkali disebutkan mengenai penyair-penyair yang sudah “mapan” menemukan cara berbicara mereka setelah perjuangan dan pelatihan bertahun-tahun. Semisal, ketika kita membaca juvenilia—puisi paling mula dari Sylvia Plath, kita akan mendiskreditkannya karena, seperti kebayakan kritikus sastra utarakan: “Dia belum menemukan cara berbicaranya sendiri.” Kita juga akan menemukan pendapat yang sama ketika membaca karya-karya awal dari penyair seperti Theodore Roetgke dan James Wright yang mana, seperti Plath, menulis puisi formal sebelum beralih ke puisi bebas selama masa kepenyairan mereka. Pada kenyataannya, lebih sulit “bersuara” alami dalam berpuisi jika kita memakai sajak dan matra, yang dibuat dengan sembarangan, dapat bersuara artificial atau ornamental. Namun, hal tersebut tidaklah terjadi pada kasus Plath, Roethke dan Wright. Ketika mereka matang sebagai penyair, mereka mulai menulis tentang orang-orang dan topik yang sepenuhnya yang ada disekitar mereka, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang kompleks.

Dalam bukunya—The Art and Craft of Poetry, Michael Bugeja lewat pertemuannya dengan penyair Amerika—Bruce Weigl, yang mana mempengaruhi proses kepenyairannya di kemudian hari, menyarankan kepada penyair muda untuk; Menggunakan suara yang sesuai.

Semisal saja, saya duduk di dalam kelas sebuah sekolah. Seorang guru, lalu, mulai menyampaikan materi pelajaran. Pada saat sang guru mulai memasuki kelas, kita, disadari ataupun tidak, sudah mengenakan topeng seorang murid. Dan jika guru tersebut ternyata adalah ibu saya sendiri, ketika pulang ke rumah saya pun akan berganti topeng seorang anak, begitupun sang guru. Inilah, topeng atau peran yang kita mainkan setiap harinya, mempengaruhi suara yang akan kita gunakan kepada orang-orang disekitar kita di tempat/situasi tertentu.

            Seseorang, misalkan saja, setiap harinya akan mengenakan beberpa topeng:

·         6:30 Kau mesti membangunkan suamimu untuk kerja—sayangnya ia orang yang temperamen. Kau akan menyentuhnya dengan lembut di pundak dan disaat itu juga kau sudah mengenakan topeng seorang istri. Kau lalu akan berbisik lembut padanya: “ayo bangun, sekarang, sayang. Waktunya untuk bangun.” Kau memerankan peran seorang istri yang bertanggung jawab dank au pun menggunakan “suara” yang sesuai dif ajar di tempat tidur.

Lebih lanjut, Michael Burgeja menyarankan pada penyair muda untuk melatih ketajaman “telinga” nya terhadap puisi-puisi kontemporer maupun klasik. Berikut akan saya kutipkan salah satu contoh yang diberikan Michael Bugeja dalam hal yang sudah saya utarakan sebelumnya;


TH E QUEEN O F HEARTS
By Christina Rossetti

How comes it, Flora, that, whenever we
Play cards together, you invariably,

However the pack parts,
Still hold the Queen of Hearts?

(Voice: suspicious, sly, questioning)

BEAT! BEAT! DRUMS !
By Walt Whitman

Beat! beat! drums! blow! bugles! blow!
Through the windows — through doors — burst like a ruthless force,
Into the solemn church, and scatter the congregation,
Into the school where the scholar is studying; . . .
(Voice: loud, oracular, commanding)

TH E VOICE
By Thomas Hardy

Woman much missed, how you call to me , call to me,
Saying that now you are not as you were
Whe n you had changed from the one who was all to me,
But as at first, when our day was fair.
(Voice: plaintive, repetitive, sad)

Namun, penilaian ini tentu saja bukan penilaian mutlak yang mesti menjadi patokan. Perbedaan interpretasi tiap pembaca tentu saja memungkinkan penilaian yang lain. Dan itu sah-sah saja. Michael Bugeja melanjutkan bahwa, yang kita butuhkan adalah mendengarkan suara yang berbeda dari setiap puisi yang kita baca. Kemudian renungkan cara bersuara penyair tersebut dan lihat apakah telah terjalin harmonisasi dengan subjek dalam puisi tersebut.

Untuk mencoba apa yang telah dijelaskan Michael Bugeja, saya akan mencoba mengaplikasikan teknik penemuan suara dalam puisi Prabu—Perahu Napas.

Perahu Napas

lelaki duduk memangku laut tiada

selain menyeberangi nasib di kejauhan

bersama angin. . .

Suara (tenang, pengharapan, perenungan)


…angin utara yang berhasil turun

membawa perasan jantung perempuan bukit

menuju arah pantai

Suara (kehilangan, penemuan kembali)



sendiri ia berbisik

merangkum masalalu

melipat bangku kosong dan cerita hantu

sementara waktu perlahan karam

merapikan angan-angan

Suara (perenungan,kesunyian,kesendirian)


bersamanya perahu napas berlayar

melampaui tubuh dan pikiran …

Suara (titik balik,penemuan kembali)


…batas diam antara lubuk dan jantung laut

yang pecah membawa ia pulang

ke tugur masa depan

Suara (penemuan kembali)


2014






*Disampaikan dalam Ngobrol Pintar (NgoPi) komunitas LACIKATA pada tanggal 26 September 2015

puguh

Penulis

a lover of literature .

0 comments:

Post a Comment